Sekarang Saya Tahu Kultur – Menarik! Kita kembali ke 4,000 tahun lalu, cerita “Epic of Gilgamesh” merupakan drama 3 babak (walu tidak seperti tragedi yunani kuno) yang menarik dan menghibur. Namun perlu dicatat bahwa cerita ini sebenarnya lebih dari sekadar cerita pengantar tidur. Cerita ini memiliki nilai historis yang signifikan, karena menceritakan kebudayaan dan kepercayaan orang Mesopotamia kuno, serta memberikan wawasan tentang bagaimana masyarakat pada masa itu memandang kehidupan dan kematian, dewa-dewa, hubungan antara manusia dan alam, dan sebagainya.
Sebagai salah satu karya sastra tertua di dunia, dan memiliki pengaruh yang besar terhadap karya sastra selanjutnya. Ada banyak tema dan unsur cerita dalam “Epic of Gilgamesh” yang masih terus muncul dalam karya sastra modern, seperti tema persahabatan, cinta, kesedihan, kekuasaan, dan kehidupan setelah kematian, ibarat drama hidup manusia.

Berasal dari sekitar 2100 SM, pada masa peradaban Sumeria di Mesopotamia (sekarang wilayah Irak). Teks tertua yang masih ada dari kisah ini ditulis pada loh batu di bahasa Sumeria pada abad ke-18 SM dan kemudian dikumpulkan menjadi beberapa naskah pada abad ke-7 SM di Asyur. Namun, seiring waktu, banyak naskah dan fragmen cerita yang hilang, sehingga hanya tersisa beberapa versi yang terlestarikan hingga kini.
Epic Gilgamesh sebenarnya lolos dari pemusnahan total (masih ingat musnahnya perpustakaan Aleksandria), meski tak terkonsrvasi secara utuh. Cerita Gilgamesh ini terkubur di bawah pasir gurun selama tiga ribu tahun, akhirnya ditemukan, membuka dunia baru bagi kita, sejarah baru, akar tradisi sastra yang lebih dalam.
Siapa Gilgamesh?
Gilgamesh adalah tokoh pahlawan legendaris dalam mitologi Mesopotamia [Wiki En], yang berasal dari kota Uruk di Mesopotamia selatan (sekarang wilayah Irak). Kisah Gilgamesh diceritakan dalam epos Gilgamesh yang merupakan salah satu karya sastra tertua di dunia.
Selain dalam mitologi Mesopotamia, kisah Gilgamesh juga memengaruhi banyak karya sastra di seluruh dunia, termasuk karya-karya sastra di Asia Tengah, India, dan Yunani kuno.
Alur CeritaEpic of Gilgamesh
Babak kesatu
Lewat awan putih di atas gunung yang megah, terdapat sebuah kota bernama Uruk. Di sinilah, pada zaman dahulu, hidup seorang raja yang terkenal dan kuat, bernama Gilgamesh. Ia terkenal di antara penduduknya karena kekuatannya, tetapi juga karena keangkuhan dan sikap sombongnya. Gilgamesh merasa bahwa ia tidak perlu takut terhadap siapa pun, bahkan terhadap dewa-dewa yang ada.
Namun, meskipun menjadi seorang raja yang kuat dan terkenal, Gilgamesh merasa bosan dengan hidupnya yang datar. Ia merasa bahwa hidupnya tidak memiliki arti, dan bahwa ia sedang kehilangan waktu yang berharga. Gilgamesh merasa bahwa hidupnya terlalu pendek, dan bahwa ia harus mencari keabadian untuk menghilangkan rasa takut akan kematian.
Gilgamesh memutuskan untuk mencari keabadian bersama temannya yang baru dikenal, Enkidu. Enkidu adalah seorang pria liar dan kuat yang dikenal sebagai penjaga hutan. Mereka berdua memutuskan untuk mencari keabadian dengan menantang dewa-dewa dan menjalani petualangan yang luar biasa.
Namun, petualangan mereka bukanlah tanpa rintangan. Mereka menghadapi berbagai bahaya dan tantangan yang membuat mereka berdua merasa bahwa mereka telah menemukan makna sebenarnya dari hidup. Namun, di tengah-tengah petualangan itu, Enkidu jatuh sakit dan meninggal, meninggalkannya sendirian dalam pencariannya.
Gilgamesh merenungkan arti hidupnya dan berjuang untuk mencari jawaban tentang keabadian dan kematian. Ia melakukan perjalanan ke tempat yang jauh, menemui orang-orang bijak, dan melakukan berbagai percobaan untuk mencari keabadian.
Namun, akhirnya, Gilgamesh menyadari bahwa tidak ada yang dapat menghindari kematian. Ia menyadari bahwa hidupnya berharga, bukan karena mencari keabadian, tetapi karena ia telah memimpin dengan baik dan membuat perbedaan dalam hidup orang lain.
Babak ke 2
Setelah kehilangan sahabatnya yang baru ditemuinya, Enkidu, Gilgamesh merasa kesepian yang semakin parah dan kehilangan arah. Ia merasa bahwa hidupnya tidak lagi memiliki tujuan. Namun, ia tidak menyerah dalam pencariannya untuk mencari makna hidup dan keabadian.
Gilgamesh memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya ke negeri jauh di mana terdapat hutan suci yang dikatakan merupakan tempat tinggal dewa-dewa. Di sana, ia berharap untuk menemukan rahasia keabadian dan kebahagiaan abadi. Namun, di tengah perjalanannya, ia diserang oleh seekor monster yang mengerikan. Meskipun ia berjuang dengan gigih, ia hampir saja kalah dalam pertarungan tersebut.
Namun, pada saat-saat genting itu, seorang wanita misterius muncul dari arah kabut dan membantunya melawan monster tersebut. Wanita itu bernama Siduri, dan ia adalah seorang dewi penjaga yang menjaga pintu ke negeri dewa. Siduri menawarkan bantuan dan nasihat pada Gilgamesh, dan memberitahunya bahwa satu-satunya cara untuk mencapai keabadian adalah dengan menemukan seorang manusia yang selamat dari banjir besar yang terjadi pada zaman dahulu.
Gilgamesh melanjutkan perjalanannya, dan setelah melalui berbagai rintangan, ia menemukan orang yang ia cari: seorang manusia bernama Utnapishtim, yang selamat dari banjir besar dan diberikan keabadian oleh para dewa. Namun, Utnapishtim menolak memberikan rahasia keabadiannya pada Gilgamesh, dan memberitahunya bahwa keabadian adalah hak istimewa dewa-dewa, dan bukan manusia.
Gilgamesh merenungkan nasihat Utnapishtim, dan akhirnya memutuskan untuk kembali ke Uruk dan menjalani hidupnya dengan bijaksana. Ia menyadari bahwa hidup yang sebenarnya terletak pada pengalaman yang telah ia jalani dan dampak positif yang telah ia berikan pada kehidupan orang lain.
Babak Ke 3
Setelah kembali ke Uruk, Gilgamesh memutuskan untuk memperbaiki kota dan membangun tembok yang lebih tinggi untuk melindungi rakyatnya dari serangan musuh. Namun, ketika ia sedang dalam perjalanan untuk mencari bahan bangunan, ia menemukan sebuah batu yang indah dan langka yang ia percayai dapat memberikan keabadian bagi siapa saja yang memilikinya.
Dengan harapan yang besar, Gilgamesh membawa batu tersebut kembali ke Uruk dan memperlihatkannya pada rakyatnya. Namun, Siduri muncul kembali dan memberitahunya bahwa batu tersebut tidak akan memberikan keabadian pada siapa pun, dan malah akan menimbulkan bencana dan ketidakbahagiaan.
Gilgamesh akhirnya menyadari bahwa keabadian yang sebenarnya terletak pada pengalaman hidup yang dijalani, dan bukan pada benda atau kekuasaan materi. Ia menyadari bahwa ia harus memperbaiki hubungannya dengan rakyatnya dan membawa kebahagiaan bagi mereka.
Dengan semangat yang baru, Gilgamesh memutuskan untuk membuka hatinya untuk rakyatnya dan memperjuangkan kebahagiaan dan kesejahteraan mereka. Ia membangun kuil-kuil baru untuk para dewa dan memberikan sumbangan bagi orang-orang yang membutuhkan. Ia juga memperbaiki hubungannya dengan teman-temannya dan menghargai kehidupan yang singkat dan berharga yang dimilikinya.
Akhirnya, setelah melakukan perjalanan yang panjang dan penuh perjuangan, Gilgamesh menemukan kedamaian dan kebahagiaan dalam hidupnya. Ia menyadari bahwa keabadian sejati hanya dapat dicapai melalui pengabdian pada orang lain dan memberikan dampak positif pada dunia.